Tuty Andriani Blog Viewer

Selasa, 09 Juni 2015

Khoriokarsinoma

Korio karsinoma adalah tumor ganas yang berasal dari jaringan yang mengandung trofoblas, seperti: lapisan trofoblas ovum yang sedang tumbuh, vili dari plasenta, gelembung mola, dan emboli sel-sel trofoblas dimanapun di dalam tubuh (Dito,2008). Koriokarsinoma ialah suatu keganasan, berasal dari jaringan trofoblas dan kanker yang bersifat agresif, biasanya dari plasenta. Hal ini ditandai dengan metastase perdarahan yang cepat ke paru-paru (Wikipedia, 2009).
Etiologi
Etiologi terjadinya koriokarsinoma belum jelas diketahui. Trofoblas normal cenderung menjadi invasive dan erosi pembuluh darah berlebih-lebihan. Metastase sering terjadi lebih dini dan biasanya sering melalui pembuluh darah jarang melalui getah bening. Tempat metastase yang paling sering adalah paru – paru ﴾75%﴿ dan kemudian vagina ﴾50%﴿. Pada beberapa kasus metastase dapat terjadi pada vulva, ovarium, hepar, ginjal, dan otak ﴾Cunningham, 1990﴿. Wikipedia, 2009 menyebutkan bahwa koriokarsinoma selama kehamilan bisa didahului oleh:1. Mola hidatidosa ( 50% kasus ) 2. Aborsi spontan ( 20% kasus ) 3. Kehamilan ektopik ( 2% kasus ) 4. Kehamilan normal ( 20-30% kasus)
Faktor-faktor yang menyebabkan antara lain:
1. Faktor ovum Ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan.
2. Immunoselektif dari trofoblast Yaitu dengan kematian fetus, pembuluh darah pada stroma villi menjadi jarang dan stroma villi menjadi sembab dan akhirnya terjadi hyperplasia sel- sel trofoblast.
3. Keadaan sosial ekonomi yang rendah Keadaan sosial ekonomi akan berpengaruh terhadap pemenuhan gizi ibu yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembentukan ovum abnormal yang mengarah pada terbentuknya molahidatidosa.
4. Paritas tinggi Ibu dengan paritas tinggi, memiliki kemungkinan terjadinya abnormalitas pada kehamilan berikutnya, sehingga ada kemungkinan kehamilan berkembang menjadi mola hidatidosa dan berikutnya menjadi koriokarsinoma.
5. Kekurangan protein Sesuai dengan fungsi protein untuk pembentukan jaringan atau fetus sehingga apabila terjadi kekurangan protein saat hamil menyebabkan gangguan pembentukan fetus secara sempurna yang menimbulkan jonjot-jonjot korion
6. Infeksi virus dan faktor kromosom
Tanda dan Gejala
Karena koriokarsinoma merupakan penyakit yang bisa menyerang banyak bagian tubuh manusia, maka klienpun akan merasakan banyak tanda dan gejala, antara lain:
1. Peningkatan jumlah kadar ß-hCG
a. Kadar ß-hCG normal pada tiap umur kehamilan berbeda, dari 5-25 IU/ml.
b. Kadar ß-hCG yang dianggap mola < 100.000 IU/urine 24jam
c. Kadar ß-hCG yang dianggap kanker adalah > 100.000 IU/urine 24jam >40.000 u/ml dalam interval lebih dari 4 bulan.
2. Perdarahan per vaginam
3. Batuk berdarah dan sesak nafas
4. X-ray dada menunjukkan adanya perembesan cairan di ujung kedua paru- paru
5. Sakit kepala dan hemiplegi
6. Sakit tulang belakang
7. Perut bengkak dan sklera menjadi kuning

8. Hilang selera makan dan berat badan turun

Definisi Disfungsi Uterus Hipotonik dan Pembagian Inersia Uteri

Definisi Disfungsi Uterus Hipotonik
Inersia uteri hipotonis adalah his yang sifatnya lemah, lebih singkat dan lebih jarang dibandingkan dengan his yang normal (Sinopsis Obstetri, 1998).
Uterus hipotonik menandakan berkurangnya dan / atau melambatnya dari intensitas normal dan durasi kontraksi uterus. Hal ini akan menyebabkan perlambatan dalam kemajuan persalinan dan akan mengakibatkan persalinan lama.
Disini his bersifat biasa dalam arti bahwa fundus berkontraksi lebih kuat dan lebih dulu dibandingkan dengan bagian – bagian lain, peranan fundus tetap menonjol. Kelainan terletak dalam hal kontraksi lebih aman, singkat dan jarang daripada biasa. Keadaan umum penderita biasanya baik dan rasa nyeri tidak seberapa. Selama ketuban masih utuh umumnya tidak berbahaya, baik bagi ibu maupun janin, kecuali persalinan berlangsung lama; dalam hal terakhirnini mordibilitas ibu dan mortalitas janin baik.
Pada disfungsi uterus hipotonik, kontraksi memilki pola gradient normal (paling besar di fundus dan menurun sampai paling lemah di segmen bawah uterus dan serviks, tetapi  tonus dan intensitasnya sangat buruk (kurang dari 15 mmHg tekanan), tekanan itu sangat sedikit untuk mendilatasi serviks.
Kelompok ahli Montivideo (Caldeyro-Barcia, 1950) memberikan kontribusi yang penting bagi pemahaman terhadap disfungsi uterus. Dengan menyisipkan sebuah kateter polietilen lewat dinding abdomen ke dalam cairan ketuban, mereka yakin bahwa batas bawah tekanan kontraksi yang diperlukan untuk menimbulkan dilatasi serviks adalah 15 mmHg, yaitu angka yang sesuai dengan hasil penemuan Hendricks dkk (1959), yang melaporkan bahwa kontraksi uterus spontan yang normal seringkali menghasilkan tekanan sekitar 60 mmHg.
Pada situasi ini, wanita merasa sangat baik karena ia tidak merasa nyeri dan dapat beristirhat. Namun persalinan memanjang dan meningkatkan risiko distress maternal, perdarahan dan jika ketuban pecah terjadi infeksi intrauterus. Janin biasanya tidak mengalami distress kecuali kondidisi ini terjadi dalam waktu yang lama dan infeksi uterin terjadi.
Tanda dan gejala disfungsi hipotonik uterus adalah:
1.      Riwayat kontraksi saat ini tidak nyeri sekali, persalinan mengalami kemajuan dengan baik sampai fase aktif kala satu persalinan atau kala dua dan kemudian berhenti.
2.      Pemeriksaan fisik uterus, kontraksi tidak sering, durasi singkat dan intensitas ringan.
3.      Pemeriksaan pelvis: tidak ada kemajuan dilatasi serviks atau penurunan janin (stase) karena kontraksi tidak efektif.
Etiologi

Kelainan his terutama ditemukan pada primigravida, khususnya primigravida tua. Pada multipara lebih banyak ditemukan kelainan yang bersifat inersia uteri. Faktor heredtiter mungkin memegang peranan pula dalam kelainan his. Sampai beberapa jauh faktor emosi (ketakutan dan lain-lain) mempengaruhi kelainan his, khususnya inersia uteri, ialah apabila bagian janin tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah uterus seperti pada kelainan letak uterus seperti pada kelainan letak janin atau pada disporposi sefalopelvik. Peregangan rahim yang berlebihan pada kehamilan ganda ataupun hidramnion juga dapat merupakan penyebab inersia murni. Akhir ganggguan dalam pembentukan uterus pada masa embrional, misalnya uterus bikornis unikolis, dapat pula mengakibatkan kelainan his. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus kurang lebih separuhnya penyebab inersia uteri tidak diketahui. (Obstetri Williams, 1995)
Pembagian Inersia Uteri

Inersia uteri primer
a.  Definisi
Kelemahan his timbul sejak dari permulaan persalinan. Hal ini harus dibedakan dengan his pendahuluan yang juga lemah dan kadang-kadang menjadi hilang (false labour). (Sinopsis Obstetri, 1998).
b.  Faktor Predisposisi dan Etiologi
Hipotonik primer otot uterus dapat disebabkan:
1)     Penyebab yang tidak diketahui
2)     Pengaruh sedative atau analgetik
3)     Progesteron dominan sehingga nilai ambang rangsangan oksitosin tubuh makin meningkat
4)     Terdapat distribusi reseptor oksitosin, kurang dari jumlah yang diperlukan.
5)     Terdapat overdistorsi otot uterus sebagai akiibat:
·         Kehamilan ganda
·         Hidramnion
·         janin makrosomia
6)     Bagian terendah belum masuk PAP sehingga tidak dapat merangsang fleksus franckenhousen pada serviks
7)     Gangguan fisiologi ibu hamil
·         Takut untuk melahirkan
·         Tegang menghadapi persalinan
c.  Komplikasi
Dampak hipotonik primer otot uterus terutama berdampak pada kala I persalinan, yaitu:
1)     Fase laten yang memanjang
2)     Tidak terjadi pelunakan serviks
3)     Penurunan kepala sebagian besar tidak berlangsung dengan baik.
4)     Kehamilan serotinus
Inertia Uteri Sekunder
a.  Definisi
Inersia uteri sekunder adalah his yang timbul setelah adanya his yang kuat teratur dan dalam waktu yang sama (Sinopsis Obstetri 1994).
Sekunder hipotonik uteri adalah hipotonia kontraksi otot uterus yang sebelumnya pernah mengalami kontraksi yang adekuat diikuti dengan sekunder atonia karena persalinan obstruktif, sebagai tindakan yang bersifat protektif terhadap kemungkinan komplikasi lebih lanjut.
b.  Faktor Predisposisi
Seorang wanita primigravida dalam persalinan lama dengan cephalo-pelvic disproporsi dan persalinan macet.
c.  Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis sekunder hipotonik kontraksi terus dapat dalam bentuk:
1)  Fase laten memanjang – khususnya akibat distosia serviks
2)  Fase aktif memanjang
3)  Sekunder arrest pada pembukaan serviks
4)  Arrest of descent yang berarti
·         Terdapat penurunan kepala
·         Penurunan kurang dari normal
·         Primigravida kurang dari 1 cm/jam
·         Multigravida kurang dari 2 cm/jam
Penatalaksanaan
Pengkajian lengkap :
1.      Pengkajian kontraksi : frekuensi, durasi, interval, intensitas, dan perubahan dari hasil observasi sebelumnya
2.      Pengkajian kelelahan ibu
3.      Pengkajian kesejahteraan janin
4.      Pengkajian lingkungan ibu; perhatikan adanya stress
5.      Pengkajian presentasi, posisi engangement, dan stasiun
6.      Pengkajian disporposi sefalopelvik: molase, pembentukan kaput, fleksi, sinklitisme/asinklitisme, dan keadekuatan pelvis
7.      Pengkajian kemajuan persalinan: pendataran, dilatasi, dan penurunan bagian presentasi.
Terdapat berbagai pilihan penatalaksanaan untuk wanita yang persalinannya dipersulit oleh distosia uterus hipotonik. Penggunaan pilihan ini bergantung pada apakah parameter lain berada dalam rentang normal. Parameter ini, yang harus dievaluasi sebelum mengimplementasi rencana penatalaksaan, mencakup sebagai berikut:
1.      Kepastian frekuensi jantung janin/tidak ada gawat janin
2.      Cairan amnion yang jernih jika ketuban pecah
3.      Ketuban utuh atau baru saja pecah dan tidak ada tanda dan gejala korioamnionitis
4.      Tidak ada tanda dan gejala kelelahan maternal
5.      Pelvis adekuat:
Penatalaksanaan
1.      Modifikasi lingkungan untuk menurunkan stres pada ibu.
2.      Mengoreksi kelelahan ibu dan dehidrasi dengan istirahat serta asupan cairan.
3.      Berdiskusi dengan wanita untuk mnedeteksi ketakutan yang mendasari atau kekhawatiran, baik terhadap dirinya sendiri maupun yang terkait dengan bayinya dan pelahiran.
4.      Ambulasi
5.      Hidroterapi: shower, mandi rendam, atau saat dalam jacuzzi; tetapi tidak lebih dari 1 sampai 2 jam dalam bak atau jacuzzi jika tidak ada kemajuan.
6.      Enema: tujuan enema harus mempertimbangkan faktor berikut dalam membuat keputusan mengenai penggunaan enema:
1.      Stasiun/ lokasi bagian presentasi: jika bagian presentasi belum masuk ke dalam panggul atau berada di atas spina iskium, terdapat risiko prolaps tali pusat yang mnyertai pengeluaran enema. Risiko berkurang (walaupun masih ada) jika ketuban utuh.
2.      Apakah ketuban pecah: jika ketuban pecah, terdapat peningkatan risiko kemungkinan infeksi intrauterus. Asuhan yang sungguh-sungguh harus dilakukan untuk membersihkan area perineum setelah enema dikeluarkan.
3.      Adanya setiap komplikasi yang akan mengontraindikasikan enema: contohnya mencakup perdarahan per vaginam dengan kecurigaan abrupsio plasenta atau plasenta previa, persalinan prematur, presentasi bokong, preeklampsia berat.
4.      Amniotomi. Jika tindakan ini efektif, peningkatan aktivitas uterus harus terjadi dalam 2 jam.
5.      Stimulasi puting susu.
Stimulasi pitosin jika penatalaksanaan di atas tidak berhasil dalam mencapai kemajuan 

Intrauterine Fetal Death (IUFD)


Definisi
          Kematian janin yang terjadi tanpa alasan yang jelas pada kehamilan, normal tidak rumit.
          Ini terjadi pada sekitar 1 persen dari kehamilan dan biasanya (tergantung pada sumber daya tersebut) dianggap sebagai kematian janin ketika terjadi setelah minggu ke-20 kehamilan dan / atau berat sama dengan atau lebih dari 500 gram.
          American College of Obstetrics and Gynecologists juga merekomendasikan kematian termasuk terjadi pada 22 minggu kehamilan atau lebih (kelompok lain menggunakan 20 minggu kehamilan). Meskipun definisi kematian janin paling sering digunakan dalam literatur medis, hal ini bukan berarti definisi saja. Bahkan di Amerika Serikat, perbedaan dalam definisi yang digunakan adalah substansial. Pusat Nasional Statistik Kesehatan AS, sebuah divisi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit, update secara berkala Model Statistik Vital Negara Undang-Undang dan peraturan untuk membantu negara dalam mengembangkan undang-undang vital statistik. Mereka merekomendasikan pelaporan kematian janin yang terjadi pada janin dengan berat 350 gram atau lebih atau dari 20 minggu kehamilan atau lebih besar (lihat Pusat Nasional Statistik Kesehatan). Kebijakan ini, tetapi, hanya panduan dan praktek pelaporan bervariasi antara negara.
Etiologi
Secara umum:
3.      Penyakit-penyakit kelainan darah
4.      Penyakit-penyakit infeksi dan penyakit menular
5.      Penyakit-penyakit saluran kencing; bakteriuria, peelonefritis,
6.      glomerulonefritis dan payah ginjal
7.      Penyakit endokrin; diabetes melitus, hipertiroid
8.      Malnutrisi dan sebagainya.

1  Faktor Ibu
1.      Kehamilan posterm (lebih dari 42 minggu)
Kehamilan lebih dari 42 minggu.Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan mengalami penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan kekurangan asupan nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban bisa berubah menjadi sangat kental dan hijau, akibatnya cairan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru janin. Hal ini bisa dievaluasi melalui USG dengan color doppler sehingga bisa dilihat arus arteri umbilikalis jantung ke janin. Jika demikian, maka kehamilan harus segera dihentikan dengan cara diinduksi. Itulah perlunya taksiran kehamilan pada awal kehamilan dan akhir kehamilan melalui USG.
2.      Diabetes (kurang terkontrol)
Kadar glukosa maternal yang tidak stabil bisa menyebabkan terjadinya janin mati dalam rahim, yang merupakan kejadian khas pada ibu dengan diabetes.
Janin yang terpapar hiperglikemia cenderung mengalami asfiksia dan sidosis walaupun mekanisme yang pasti belum jelas, tetapi diduga keto-asidosis mempunyai hubungan yang erat dengan matinya janin. Bila kadar glukosa darah meternal dalam batas normal, kematian janin dalam rahim jarang terjadi.
Hiperinsulinemia yang terjadi pada janin akan meningkatkan kecepatan metabolisme dan keperluan oksigen untuk menghadapi keadaan-keadaan seperti hiperglikemia, keto-asidosis, pre-eklampsia dan penyakit vaskuler yang dapat menurunkan aliran darah utero-plasenter serta oksigenasi janin.
3.      Lupus eritematosus sistemik
Lupus eriterrnatosus sistemik adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasu dari yang ringan sampai berat. Gejala LES bersifat sistemik, artinya menyerang seluruh bagian tubuh. Gejala umunya berupa kelelahan, pucat, anemia, demam dan berat badan menurun akibat nafsu makan menurun. Gejala sistemik mulai dirasakan bila kompleks imun mengendap pada salah satu organ dan kemudian organ lain. Organ yang paling utama diserang adalah dermatomuskuloskeletal(kulit dan organ pergerakanKompleks imun juga dapat mengendap pada organ vital seperti jantung, saraf, paru-paru, gastrointetinal, hati dan bahkan organ lain.
4.      Infeksi
Saat hamil sebaiknya menjaga kondisi tubuh dengan baik guna menghindari berbagai infeksi bakteri atau virus. Bahkan, demam tinggi pada ibu bisa mengakibatkan janin tidak tahan akan panas tubuh ibunya.
1.      Hipertensi
2.      Preeklamsia
3.      Eklampsia
4.      Hemoglobinopati
5.      Tingkat lanjut usia ibu
6.      Penyakit Rh
Terutama pada golongan darah A, B, O. Kerap terjadi golongan darah anak A atau B, sedangkan Moms bergolongan O atau sebaliknya. Pasalnya, saat masih dalam kandungan darah ibu dan janin akan saling mengalir lewat plasenta. Bila darah janin tidak cocok dengan darah ibunya, maka Moms akan membentuk zat antibodi.
1.      Uterine pecah
2.      Sindrom antifosfolipid
3.      Hipotensi akut
4.      Kematian Ibu
2  Faktor Janin
1.      Beberapa kali kehamilan
2.      Pertumbuhan pembatasan Intraurine
3.      Kelainan congenital
Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis, yakni akumulasi cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam rongga dada bisa menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami pembengkakan atau terjadi kelainan pada paru-parunya.
1.      Kelainan genetic
Kelainan kromosom termasuk penyakit bawaan. Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru terdeteksi saat kematian sudah terjadi, melalui otopsi bayi. Jarang dilakukan pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan. Selain biayanya mahal, juga sangat berisiko. Karena harus mengambil air ketuban dari plasenta janin sehingga berisiko besar janin terinfeksi, bahkan lahir prematur.
2.      Infeksi (yaitu, parvovirus B-19, CMV, listeria)
3  Faktor dari Plasenta
1.      Keabnormalan tali pusat.
2.      Ketuban pecah dini.
3.      Plasenta previa
Komplikasi
Kematian janin dalam kandungan 3-4 minggu, biasanya tidak membahayakan ibu. Setelah lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipo fibrigenemia) akan lebih besar. Karena itu pemeriksaan pembekuan darah harus diakukan setiap minggu setelah diagnosis ditegakkan. Bila terjadi hipofibrinogenemia. Bahayanya adalah perdarahan post partum. Terapinya adalah dengan pemberian darah segar atau pemberian fibrinogen.
1.      Trauma emosional yang berat terjadi bila waktu antara kematian janin dan persalinan cukup bulan.
2.      Dapat terjadi infeksi bila ketuban pecah.
3.      Dapat terjadi koagulasi bila kematian janin berlangsung > 2 minggu.
Diagnosis
1.      Anamnesis
        Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan janin sangat berkurang. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil atau kehamilan tidak seperti biasanya. Atau wanita belakangan ini merasakan perutnya sering menjadi keras dan merasakan sakit seperti mau melahirkan.
2. Inspeksi
          Tidak terlihat gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada ibu yang kurus.
3.Palpasi
        Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak teraba gerakanan janin. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala janin.4.Auskultasi
          Baik memamakai setetoskop monoral maupun dengan Deptone
akan terdengar DJJ.
1.      Reaksi keham
 Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam kandungan.
2.       Rontgen Foto Abdomen
          Adanya akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah besar janin, yaitu:
Tanda Nojosk    : adanya angulasi yang tajam tulang belakang janin
Tanda Gerhard   : adanya hiperekstensi pada tulang leher janin
Tanda Spalding   : overlaping tulang-tulang kepala (sutura) janin atau kepala saling tumpang tindih
3.      Ultrasonografi
          Tidak terlihat DJJ dan gerakan-gerakan janin
Penatalaksanaan
Data subjektif dan objektif
1.      Gerakan janin berhenti
2.      Pertumbuhan uterus berhenti. Pasien dapat mengalami penurunan berat badan. Besar uterus dapat menjadi lebih kecil dari yang diperkirakan.
3.      Denyut jantung janin tidak ada.
Penilaian
1.      Diagnosis banding
        Diagnosis banding meliputi missed abortion, kehamilan ekstrauterin dan kehamilan mola.
2.  Komplikasi potensia
Meliputi koagulasi intravaskular diseminata, sepsis, perdarahan post partum, dan emboli      cairan ketuban.
Rencana
Data diagnostik tambahan
1.      Ultrasonografi: Dengan scan real-time tidaka adanya aktivitas jantung memastikan kematian janin. Tengkorak janin yang kolaps memberi kesan bahwa janin telah mati 1 minggu atau lebih.
2.      Foto abdomen: 5 hari atau lebih setelah kematian janin kelainan-kelainan yang ditemukan meliputi tulang tengkorak janin yang saling tumpang tindih (tanda spalding) yang disbabkan oleh mencairnya otak, lengkungan tulang belkang janin yang berlebihan dan sikap janin yang abnormal.
3.      Amniosintesis: Cairan amnion cenderuing untuk menjadi merah, coklat atau keruh. Methemeglobin dan peningkatan kreatin fosfokinase dapat diidentifikasi. Pewarnaan gram dan biakan mendeteksi infeksi intrauterin.
4.      Tes-tes koagulasi: Fibrinogen, jumlah trombist, massa protrombin dan massa tromboplastin parsial dapat mengindentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan koagulasi.
Penatalaksanaan dan pendidikan pasien
1.      Persalinan seringkali diinduksi bila dignisis telah ditegakjkan sebagai usaha untuk mencegak defek koagulasi yang potensial, infeksi dan menekan masalah-masalah psikologis yang berhubungan dengan pengetahuan bahwa janin intrauterine telah mati
2.      Suppositoria vagina yang mengandung proistaglandin biasanya dianjurkan.
3.      Sokongan emosional yang cukup adalah esensial.
Penatalaksanaan Lanjut
          Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan kecenderungan terjadinya koagulapati. Masalah menjadi rumit bila kematian janin terjadi pada salah satu bayi kembar.
Bila diagnosis kematian telah ditegakkan, dilakukan pmeriksaan tanda-tanda vital ibu, dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, gula darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan emosional pada penderita dan  keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam.
          Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi seara aktif dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan prabdominal bila janin letak lintang. Induksi persalinan dapat dikombinasi oksitosin + misoprostrol. Hati-hati dnegan uterus paskaseksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadi rupture uteri.

Pada kematian janin 24-48 minggu dapat digunakan, misoprostol secara vaginal (50-100 ug tia 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan di atas 28 minggu dosis misoprostol 25 ug pervaginam/6 jam
Cute Red Bow Tie Pointer